Bumi Perkemahan diselimuti kabut tipis, dan embun pagi masih menetes dari ujung-ujung ilalang. Saya, seorang pembina Pramuka yang telah lama mengabdi pada tunas-tunas muda bangsa. Diantara wajah-wajah penuh semangat itu, ada satu yang kerap membuat waktu terasa lambat
“Icha Aryani Kalimbuang”
Ia merupakan anak binaan saya di Gugus Depan. Perkenalan kami tak pernah direncanakan. Seperti halnya angin yang datang diam-diam membawa wangi tanah basah. Icha, gadis dengan langkah ringan, mata yang menyala oleh cita-cita. Bukan parasnya yang mula-mula menggetarkan hati, tapi caranya menyalakan semangat, tawanya yang menghidupkan tenda paling sepi. Ia adalah semesta yang hadir dalam wujud sederhana. Namun waktu saya tahu, jarak antara pembina dan anggota bukan sekadar peraturan. Itu jurang yang dibangun dari etika dan kehormatan. Maka saya simpan rasa itu dalam diam. Tahun berganti. Icha tumbuh, bukan hanya dalam usia, tapi dalam jiwa. Ia kembali, bukan lagi sebagai anggota, tapi sebagai pemimpin muda yang siap menanam nilai pada generasi berikutnya. Saat itu, langit di hatiku mulai cerah. Lalu, waktu menjahit langkah kami dalam satu barisan yang sama. Bukan lagi pembina dan anggota, tapi dua insan yang mengukir hidup bersama. Kini, kami menua bersama di tengah perkemahan hidup, menggenggam kompas cinta yang selalu menunjuk arah pulang yaitu hati satu sama lain.
"Sebab cinta kami adalah perkemahan abadi, beralas ketulusan, berdinding kesetiaan, dan beratap janji yang tak pernah surut ke pantai"